Selasa, 04 Oktober 2011

Serpihan Rindu



Wah-wah…macet bener nih jalan. Emang udah tradisi sih,lima hari setelah lebaran pasti macet banget. Nyampe Jatinangor jam berapa nih?? Pikirku dalam kepala. Daripada diem, mendingan aku baca hasil ketikanku pas liburan. Hehehe…semoga ajja ada yang mau nerbitin hasil karyaku.
Kulirik kantong tas kecilku dengan penuh semangat. Kuambil lembaran print-an tersebut…
“ “…”Emak, katanya abah mau pulang? Sekarang udah lebaran lewat tiga hari, tapi kok abah ga dateng-dateng, Mak??”
“Kita tunggu ajja ya, Rindu! Abah pasti ga akan boongin kita.”
“Oh Rindu, ga hanya kamu yang menanti kedatangan abah, emak pun tak kuasa menahan kerinduan ini.” Bisikku dalam hati..
Kang Masku, dimana kah kau kini? Tiap Lebaran kau janji kan pulang, tapi selalu kau batalkan. Kang Mas, lupa kah kau padaku? Wanita yang dulu kau kejar-kejar, wanita yang rela meninggalkan keluarganya demi cinta, wanita yang kau pinang dengan fatihah. Lupa kah kau, Kang Mas?!!
Apa gerangan yang membuatmu sungguh betah tinggal di rantau? Adakah kau mempunyai penggantiku? Yang selalu mendampingimu, menyiapkan sarapanmu, mencucikan pakaianmu, menemanimu dalam gelap malam. Adakah?? Sungguh kau tak berperasaan, sungguh kau kejam, sungguh aku tak rela, Kang Mas!!!
Dulu kau janji kan selalu di sampingku, menjagaku, membelai rambutku, tapi…
sampai lima tahun ini, semuanya hanya mimpi bagiku, Kang Mas. Aku hanya hidup dalam kesendirian, berteman sepi dan berkemul rindu. Hanya buah hati kitalah yang mampu membuatku tersenyum. Buah hati yang terlahir tanpa kehadiran sosok ayah di sampingnya, tahu kah kau, lima jam setelah langkahmu enyah dari pandanganku, buah hati kita terlahir ke dunia yang penuh tipuan ini. Lima jam, Kang Mas…sungguh miris bukan??
Aku meringis menahan sakit, berjuta peluh di dahi menghiasi wajahku yang semakin layu. Aku menjerit melepas kepergianmu, mengingatmun yang tak ada di sampingku, kau membiarkanku berjuang seorang diri. Sungguh kau tega!!!
Lima jam, waktu yang lama kah untuk menjemput sebuah kebahagiaan???
Ngilu aku mengingatnya, Kang Mas…
Aku merindukanmu, aku membutuhkanmu, aku telah lelah mendayung perahu kecil kita seorang diri, berkali-kali badai menghantam perahu kita, berkali-kali pisau bajak laut menghunus perahu kita. Aku butuh kau, Kang Mas…
Benar kah kata orang, kau hanya mempermainkanku? Membohongiku dengan kata? Menipuku dengan cinta? Benar kah??
Aku sungguh mencintaimu, kau pun mencintaiku kan??? Kau tak’kan pernah mengkhianatiku kan, Kang Mas??”
“Mak!!! Kapan kita libulan? Emak kan dah janji, katanya kalau Lindu shaumnya tamat, Emak mau ngajak Lindu libuaran ke pantai.” Suara lembut anakku telah membangunkanku dari dunia lamunan.
“Apa, Sayang?” pura-puraku menanggapi pertanyaannya.
“Emak ga denger?? Emak ngelamun telus sih… Lindu cuma nanya, Emak udah makan belum. Gitu, Mak.”
“Oh anakku, maafkan emakmu ini, sungguh malang nasibmu, Rindu…”

Ibu mana yang tak menangis mengetahui anaknya menyembunyikan hal yang membuatnya bahagia. Ibu mana yang tak menangis melihat buah hatinya tumbuh tanpa kehadiran sang ayah. Ibu mana yang tak menangis melihat buah hatinya berpangku tangan, melamun menginginkan kebahagiaan. Ibu mana yang tak menangis melihat lirikkan anaknya menginginkan mainan.
Oh kehidupan… betapa kejamnya dirimu merampas kebahagiaan anakku, mengkebiri masa kecil buah hatiku. Sungguh kau begitu kejam!!!
Ya Rab…kuatkanlah lahir dan batin padaku dan Lindu
Pantai Selatan
“Mak, naek pelahu yuk! Lindu pengen liat kula-kula.” Pinta anakku dengan wajah penuh harap, tak kuasa aku menolaknya.
Kubiarakan kedua telapak tanganku menyapu dinginnya air laut Pangandaran, ingin kulepaskan beban-beban kehidupan yang telah lama aku genggam, tak sanggup jika kuharus terus menggenggamnya dengan telapak tangan yang sunggung telah kering. Tak sengaja, sebuah botol air mineral kini telah kugenggam.
“Ya Allah, di mana-mana ada ajja yang namanya sampah berserakan, di darat, di laut, uuhhh…ada semuanya, ya Pak?!” tanyaku pada pemandu perahu.
“Oh ya iyalah, Neng, sampah di hati pun ada kan? Hehehe… ikh, da bapa mah sok rada bingung da, Neng, kunaon nya, Indonesia teh ceuk di tipi mah negara number hiji nu mayoritas Islam, apan ceuk Islam teh ‘Kabersihan eta adalah sebagian ti iman’ kitu lin, Neng? Ehhh, ai pek teh, eweuh pisan bersih-bersihna yeuh Indonesia. Sampah bekas dahareun akeh, uhh…komo deui tah sampah-sampah politikus, meuni eweuh kaera ngadahar duit rakyat. Bapa mah meuni nyeri hate da, Neng, beneran da, bapa mah moal redo, ke bakalan bapa tagih di aherat.”
“Ooowww…ini si bapak, subhanallah lah. No comment, Pak.” Celetukku dalam hati
Tapi…sampah yang kulihat saat ini sungguh berbeda, jantungku berdetak begitu kencang, tak terasa, butiran mutiara telah membasahi pipiku yang telah kupoles dengan bedak begitu tebal untuk menutupi goresan mutiara yang semalam.
CintaJ yah, kata itu yang terbaca dari dalam botol.
Cinta…
Oh Tuhan…itu panggilan Kang Mas untukku. Kang Masku yang tlah lama tak jua kembali.
Tak sabar ingin kubuka botol itu,
Bismillah…
Teruntuk: Cintaku dan mungkin buah hatiku yang telah lahir ke dunia
assalamu’alaikum…
Cinta, apa kabar Sayang? Betapa kurindu wajah teduhmu, lembutnya kulitmu, rayu manjamu, hangatnya dekapmu, sorot matamu yang sungguh menawan, desahmu yang mengagumkan, kasih dan sayangmu yang senantiasa menyelimuti hariku. Sungguh…betapa kurindu dirimu.
Tahu kah engkau, Cinta…aku membawakan pesananmu sepulangku dari rantau. Besok aku akan kembali, kembali pada dekapanmu, Cinta.
Tunggu aku di depan taman bahagia kita!!!
Pencuri hatimu
Kang Mas
Deg!!!
Perahu yang kini kutumpangi, oleng, basah, dan…pandanganku…
Gelap……………………..””
Tak terasa, Alhamdulillah nyampe juga aku di Jatinangor, aaarrrggghhh…tinggal kukirimin nih print-an. Semoga ajja mimpiku tahun ini tercapai, ceritaku diterbitin. Hahahaahhhhhh
Aamiin…



Tidak ada komentar:

Posting Komentar